Ada kalanya dalam hidup kita membutuhkan motivasi penyemangat untuk kembali bangkit dan menemukan alasan untuk memperjuangkan apa yang telah diimpikan dan terlanjur dijalankan. Siapapun orangnya, apapun latar belakangnya, usia berapa pun dirinya, dari manapun asalnya, semua pasti pernah mengalami asa yang patah. Harapan yang terkikis bahkan hancur, lalu kehilangan alasan untuk kembali melanjutkan.

Jika Anda sedang mengalami hal ini dan membutuhkan motivasi penyemangat untuk kembali bangkit, ada sebuah kisah yang mungkin dapat menjadi jawaban Anda. Sebuah kisah motivasi penyemangat tentang menemukan pelangi setelah badai, lewat satu momen kecil yang kadang sering terlewatkan.

Baca juga: Gapai Impian dengan 9 Motivasi Sukses Penambah Semangat


Undangan Tak Disangka

Kafe kecil di tengah sibuknya area Tampines itu dipadati oleh pengunjung. Seluruh kursi terisi oleh kebanyakan muda-mudi yang menikmati aneka kue dan roti. Sebagian besar kudapan yang dipilih adalah donat. Nyaris setiap gigitan meninggalkan jejak senyum di sudut bibir penikmatnya.

Di antara ramainya pengunjung itu, seorang laki-laki datang memasuki area kafe dan menuju ke meja pemesanan. Seorang wanita muda dengan gaya rambut kepang yang sedang menata roti menyambutnya dengan ramah.

“Hai, ada yang dapat saya bantu?”

Laki-laki itu menampilkan ekspresi tak kalah ramah. Namun, jawaban yang dia berikan berbeda dengan pengunjung lainnya. Dia tidak menyebutkan menu apa pun sebagai pesanan. Dia justru membalas sapaan tersebut dengan pertanyaan apakah wanita yang menyapanya tersebut adalah si pemilik kafe.

“Bukan,” jawab wanita itu sambil menggelengkan kepala dengan cepat. Aksinya pun tak kalah cepat. Dia meminta laki-laki itu untuk menunggu sejenak sementara dirinya memanggil sosok yang menjadi topik komunikasi singkat keduanya. 

Gwen, si pemilik kafe yang sibuk berkutat dengan aktivitasnya dan berdiri tak jauh dari karyawannya itu, menghampiri laki-laki tersebut. Dia menyambut dengan tak kalah ramah.

“Anda mencari saya?”

Laki-laki itu pun mengangguk dengan cepat. Dia lantas memperkenalkan dirinya.

Jason, nama laki-laki itu, merupakan bagian dari salah satu kanal YouTube besar yang membahas tentang dunia kuliner. Kali ini, dia sedang mencari kafe-kafe yang berpotensi menjanjikan dan berharap melalui videonya, dia dapat menyebarkan informasi tentang keberadaan kafe-kafe tersebut ke khalayak yang lebih luas. 

“Apakah Anda memiliki waktu, mungkin sekitar dua puluh menit saja, untuk melakukan wawancara dengan saya?”

Gwen sedikit meragu. Kondisi kafe saat ini sedang ramai dan dia memiliki beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.

“Apakah harus hari ini?”

Jason mengangguk. “Ya, saya berharap demikian.”

Gwen menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya dia mengiyakan undangan tak disangka dari Jason. Maka, dia pun beberes dan bersiap-siap secepat mungkin selagi Jason menyiapkan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan.

Kunjungan ke Masa Lalu

Gwen masih mengenakan kaus putih yang dikenakannya saat bekerja. Dia duduk beberapa meter di depan kamera di salah satu sudut kafe, sementara Jason membidik gambar dari belakang kameranya.

Lalu, wawancara dimulai. Tak ada yang sulit dari permintaan awal Jason. Laki-laki itu meminta Gwen memperkenalkan dirinya. Gwen pun menjawab permintaan tersebut dengan cukup mudah. Dia bahkan dengan lancar menyisipkan informasi tentang bisnis yang dijalaninya—kafe kecil di Tampines yang menyajikan kopi dan aneka roti buatannya. Tentu, donat yang menjadi andalan bisnisnya menjadi highlight penting dalam paparan singkat tersebut.

“Ya, saya juga sudah mendengar soal donat yang Anda sajikan di kafe ini. Donat-donat itu sangat populer, semua orang membicarakannya. Bahkan, donat-donat itu habis setiap harinya dan dalam waktu yang singkat. Omong-omong, berapa catatan waktu tercepat Anda menjual habis donat-donat tersebut?”

Gwen tersenyum lebar. Ah, senang rasanya bisnis yang dijalankan mendapat respon menyenangkan bahkan dari ‘orang asing’. Dia mengetahui dengan jelas bahwa bisnisnya telah berkembang dan produknya diminati oleh banyak orang. Namun, mendengarnya langsung dari mulut seseorang tetap saja selalu menggembirakan.

“Kami buka pukul setengah sebelas siang setiap harinya. Rekor tercepat kami… donat-donat tersebut ludes pada pukul dua belas siang.”

Mengesankan, bukan? Gwen tidak tahan untuk tidak tersenyum mengingat kejadian hari itu. Hasil karyanya ludes oleh animo pengunjung dalam waktu yang sangat singkat—satu setengah jam saja.

Namun, senyum itu memudar saat Jason melanjutkan pertanyaan. “Setiap bisnis pasti mengalami kondisi naik dan turun. Adakah titik dalam hidup Anda selama menjalani usaha ini, Anda ingin berhenti dan menyerah begitu saja?”

Pertanyaan sederhana yang lazim itu membuat Gwen tertegun sejenak. “Ya, tentu saja,” jawabnya seiring dengan anggukan kepala.

“Lalu, apa yang membuat Anda memilih untuk terus melangkah dan melakukannya?”

Kali ini Gwen terdiam lebih lama. Pikirannya mengembara lebih dulu ke ratusan hari lalu.

Motivasi Penyemangat yang Tak Terlihat

Saat itu, kafe ini tidak banyak pengunjung. Jangankan impas, Gwen bahkan harus menghadapi rugi setiap harinya. Modal yang dikeluarkan tidak kembali seperti yang diharapkannya.

Satu malam itulah yang kemudian mengubah segalanya. Kafe sepi, hanya ada dia dan Glenn. Laki-laki itu asyik menjelaskan berbagai tips kepada Gwen tentang mesin kopi dan saran-saran untuk menyajikannya kepada pelanggan. Glenn terlalu bersemangat melakukannya hingga tak menyadari ada perubahan yang kentara pada raut wajah Gwen.

“Glenn, kamu tidak perlu menjelaskan lagi soal ini.”

Kalimat bernada dingin itu menghentikan keasyikan Glenn. Laki-laki itu menoleh dan menatap Gwen yang berdiri di sampingnya.

“Kenapa?”

“Aku mau menutup tempat ini.”

Glenn terkejut. Raut mukanya menunjukkan kaget dan keberatan. “Menutup tempat ini? Kenapa?”

Gwen berjalan mengambil kantong plastik hitam besar yang telah disiapkannya di atas kursi. Tidak ada tangis atau air mata yang terlihat di wajahnya, tetapi ada frustasi dan lelah yang kentara pada seluruh gestur Gwen.

“Daripada untung, setiap hari aku justru merugi. Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini.”

Glenn masih tak menerimanya. Bukankah dalam setiap bisnis, hal itu wajar, apalagi jika baru saja beroperasi? Di samping risiko profit, sudah tentu ada resiko rugi pula, bukan?

Namun, Gwen bersikeras. Dia sedang tak butuh motivasi penyemangat. Sambil memasukkan roti-rotinya ke dalam kantong plastik, dia tetap bersikukuh dengan keputusannya. “Itu dia masalahnya. Kafe ini sudah beroperasi selama delapan bulan dan sampai sekarang, masih saja seperti ini kondisinya. Seharusnya aku memang mendengarkan kata orang-orang, bekerja full time di kantor, menjalani kehidupan yang normal.”

Kali ini Glenn menangkap dengan jelas segala kekecewaan Gwen. Laki-laki itu berjalan meninggalkan area mesin kopi dan mendekati Gwen, meminta wanita itu berhenti memasukkan roti-rotinya ke dalam kantong plastik. Glenn lantas memegang pundak Gwen, lalu membawa wanita itu berdiri ke depan kaca yang terpasang di salah satu dinding.

“Lihat baik-baik. Aku tidak tahu apa yang kamu katakan, tapi orang yang aku lihat di bayangan ini sama sekali bukan orang normal,” ujar Glenn sambil menunjuk bayangan Gwen di kaca. “Pastries yang kamu buat setara lebih baik dibandingkan pastries yang ada di hotel bintang 10.”

“Tidak ada hotel bintang 10,” elak Gwen.

“Ya, aku tahu, tapi kamu tahu maksudku. Kalau ini soal gaji, seperti yang aku bilang, aku tidak membutuhkannya, Gwen. Oke? Nanti kalau bisnis ini sudah meroket, baru kamu mengembalikannya padaku.”

Gwen tak sependapat. “Aku tidak mengerti. Kamu butuh pekerjaan. Kamu sudah sangat banyak membantuku.”

Wanita itu berjalan menuju tasnya, mengambil sebuah amplop, dan menyerahkan gaji terakhir Glenn kepada penerimanya. Glenn menolak, tetapi Gwen bersikeras. Wanita itu pun tahu, Glenn sedang mengumpulkan uang untuk meraih mimpinya menempuh studi di perfilman di Taiwan.

Glenn masih menolak amplop itu, tetapi Gwen lebih tegas menolak Glenn untuk mengembalikannya. Sampai kemudian, Glenn menerimanya dengan syarat yang aneh.

“Oke, aku akan menerima uang ini, tapi kalau kamu memberiku seluruh donat-donat itu.” kata Glenn sambil menunjuk donat-donat sisa yang belum tersentuh. Tanpa menunggu persetujuan Gwen lebih lanjut, Glenn pun mengeluarkan kamera dari dalam tasnya dan mulai membidik gambar kudapan hasil karya Gwen.

Gwen yang tahu maksud dari Glenn buru-buru mencegah seseorang yang baru menjadi mantan karyawannya tersebut melakukan aksinya. “Tidak perlu Glenn, aku sudah tidak butuh ini lagi. Aku mau membuang donat-donat ini.”

Namun Glenn tak mengindahkan ucapan itu. Pada akhirnya, Gwen membiarkan laki-laki itu melakukan aksinya. Dia bahkan tak dapat lagi menolak saat Glenn memintanya melakukan beberapa hal untuk membantunya mendapat gambar yang bagus.

“Kenapa kamu melakukan ini, Glenn?” tanya Gwen setelah mereka selesai.

Glenn tidak lantas menjawab. Dia menatap Gwen beberapa saat sebelum akhirnya memberi jawaban. “Untuk portofolio.”

Gwen tahu, itu bukan jawaban sesungguhnya yang ingin Glenn sampaikan. Laki-laki itu ingin membantunya. Glenn percaya akan kemampuan Gwen melebihi kepercayaan Gwen terhadap dirinya sendiri. Karena itu, Glenn melakukan hal ini. Untuk kembali menumbuhkan kepercayaan Gwen.

“Unggah dan sebarkan video ini di akun Instagram. Setidaknya, beri satu kesempatan lagi sebelum kamu benar-benar memutuskan untuk menutup tempat ini,” pesan Glenn.

Ada Pelangi Setelah Badai

Jason menyimak dengan antusias cerita Gwen. “Ya, saya juga melihat video itu. Sangat viral. Saya juga melihat sejak video itu, bisnis Anda jadi meledak.”

Gwen mengangguk mengiyakan. Siapa sangka video itu bisa menjadi titik balik bisnis dan mimpi yang sudah nyaris dia kubur sendiri?

“Jadi, kalau saya bilang selalu ada pelangi di setiap akhir badai yang hebat, apakah Anda setuju?”

Sekali lagi Gwen mengangguk. “Ya, selama Anda tidak menyerah.”

Wawancara itu berakhir tak lama kemudian. Selepas kepergian Jason, Gwen terduduk dan kembali mengenang masa-masa itu. Glenn, seseorang yang percaya pada kekuatan dan mimpinya bahkan saat dirinya tak lagi dapat mempercayai. Kalau bukan karena seseorang seperti itu di dalam hidupnya, mungkin, dia tak akan bisa mencapai titik ini.

Akan selalu ada orang-orang yang percaya pada kemampuan dan mimpi Anda lebih dari diri Anda sendiri. Tak semua orang mendapat keistimewaan tersebut. Karenanya, jangan sia-siakan kehadiran mereka dalam hidup Anda. 

Selain itu, Anda tidak pernah tahu kapan badai akan berakhir. Terkadang, Anda hanya berjarak sejengkal lagi dari akhir badai dan menikmati pelangi, tetapi Anda memilih untuk menenggelamkan diri dalam badai tersebut. Karena itu, jangan selalu mengabaikan orang-orang yang benar-benar mendukung Anda bahkan ketika Anda tak lagi ingin berjuang. Kerap kali, mereka tak hanya sekadar ingin berbagi motivasi penyemangat yang tak berarti, tetapi justru percaya pada mimpi dan potensi yang Anda miliki.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini